Kamis, 01 Juli 2010

Sejarah Kota Palu | Sulwesi Tengah

PaluSejarah Kota Palu | Sulwesi Tengah ~ Palu adalah “Kota Baru” yang letaknya di muara sungai. Dr. Kruyt menguraikan bahwa Palu sebenarnya tempat baru dihuni orang (De Aste Toradja’s van Midden Celebes). Awal mula pembentukan kota Palu berasal dari penduduk Desa Bontolevo di Pegunungan Ulayo. Setelah pergeseran penduduk ke dataran rendah, akhirnya mereka sampai di Boya Pogego sekarang ini

Kota Palu sekarang ini adalah bermula dari kesatuan empat kampung, yaitu : Besusu, Tanggabanggo (Siranindi) sekarang bernama Kamonji, Panggovia sekarang bernama Lere, Boyantongo sekarang bernama Kelurahan Baru. Mereka membentuk satu Dewan Adat disebut Patanggota. Salah satu tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya dengan kegiatan kerajaan. Kerajaan Palu lama-kelamaan menjadi salah satu kerajaan yang dikenal dan sangat berpengaruh. Itulah sebabnya Belanda mengadakan pendekatan terhadap Kerajaan Palu. Belanda pertama kali berkunjung ke Palu pada masa kepemimpinan Raja Maili (Mangge Risa) untuk mendapatkan perlindungan dari Manado di tahun 1868. Pada tahun 1888, Gubernur Belanda untuk Sulawesi bersama dengan bala tentara dan beberapa kapal tiba di Kerajaan Palu, mereka pun menyerang Kayumalue. Setelah peristiwa perang Kayumalue, Raja Maili terbunuh oleh pihak Belanda dan jenazahnya dibawa ke Palu. Setelah itu ia digantikan oleh Raja Jodjokodi, pada tanggal 1 Mei 1888 Raja Jodjokodi menandatangani perjanjian pendek kepada Pemerintah Hindia Belanda.

Berikut daftar susunan raja-raja Palu :
1. Pue Nggari (Siralangi) 1796 - 1805
2. I Dato Labungulili 1805 - 1815
3. Malasigi Bulupalo 1815 - 1826
4. Daelangi 1826 - 1835
5. Yololembah 1835 - 1850
6. Lamakaraka 1850 - 1868
7. Maili (Mangge Risa) 1868 - 1888
8. Jodjokodi 1888 - 1906
9. Parampasi 1906 - 1921
10. Djanggola 1921 - 1949
11. Tjatjo Idjazah 1949 – 1960

Setelah Tjatjo Idjazah, tidak ada lagi pemerintahan raja-raja di wilayah Palu. Setelah masa kerajaan telah ditaklukan oleh pemerintah Belanda, dibuatlah satu bentuk perjanjian “Lange Kontruct” (perjanjian panjang) yang akhirnya dirubah menjadi “Karte Vorklaring” (perjanjian pendek). Hingga akhirnya Gubernur Indonesia menetapkan daerah administratif berdasarkan Nomor 21 Tanggal 25 Februari 1940. Kota Palu termasuk dalam Afdeling Donggala yang kemudian dibagi lagi lebih kecil menjadi Arder Afdeling, antara lain Order Palu dengan ibu kotanya Palu, meliputi tiga wilayah pemerintahan Swapraja, yaitu :

1. Swapraja Palu
2. Swapraja Dolo
3. Swapraja Kulawi

Pertumbuhan Kota Palu setelah Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda kemudian Jepang pada tahun 1945 semakin lama semakin meningkat. Dimana hasrat masyarakat untuk lebih maju dari masa penjajahan dengan tekat membangun masing-masing daerahnya. Berkat usaha makin tersusun roda pemerintahannya dari pusat sampai ke daerah-daerah. Maka terbentuklah daerah Swatantra tingkat II Donggala sesuai peraturan pemerintah Nomor 23 Tahun 1952 yang selanjutnya melahirkan Kota Administratif Palu yang berbentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1978.
Berangsur-angsur susunan ketatanegaraan RI diperbaiki oleh pemerintah pusat disesuaikannya dengan keinginan rakyat di daerah-daerah melalui pemecehan dan penggabungan untuk pengembangan daerah, kemudian dihapuslah pemerintahan Swapraja dengan keluarnya peraturan yang antara lain adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 serta Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 Tentang Terbentuknya Dati I Propinsi Sulteng dengan Ibukota Palu.

Dasar hukum pembentukan wilayah Kota Administratif Palu yang dibentuk tanggal 27 September 1978 atas Dasar Asas Dekontrasi sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Kota Palu sebagai Ibukota Propinsi Dati I Sulawesi Tengah sekaligus ibukota Kabupaten Dati II Donggala dan juga sebagai ibukota pemerintahan wilayah Kota Administratif Palu. Palu merupakan kota kesepuluh yang ditetapkan pemerintah menjadi kota administratif.

Sebagai latar belakang pertumbuhan Kota Palu dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari hasrat keinginan rakyat di daerah ini dalam pencetusan pembentukan Pemerintahan wilayah kota untuk Kota Palu dimulai sejak adanya Keputusan DPRD Tingkat I Sulteng di Poso Tahun 1964. Atas dasar keputusan tersebut maka diambil langkah-langkah positif oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Pemerintah Dati II Donggala guna mempersiapkan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan kemungkinan Kota Palu sebagai Kota Administratif. Usaha ini diperkuat dengan SK Gubernur KDH Tingkat I Sulteng Nomor 225/Ditpem/1974 dengan membentuk Panitia Peneliti kemungkinan Kota Palu dijadikan Kota Administratif, maka pemerintah pusat telah berkenan menyetujui Kota Palu dijadikan Kota Administratif dengan dua kecamatan yaitu Palu Barat dan Palu Timur.

Berdasarkan landasan hukum tersebut maka pemerintah Kotif Palu memulai kegiatan menyelenggarakan pemerintahan di wilayah berdasarkan fungsi sebagai berikut :
a. Meningkatkan dan menyesuaikan penyelenggaraan pemerintah dengan perkembangan kehidupan politik dan budaya perkotaan.
b. Membina dan mengarahkan pembangunan sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dan fisik perkotaan.
c. Mendukung dan merangsang secara timbal balik pembangunan wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah pada umumnya dan Kabupaten Dati II Donggala.

Hal ini berarti pemerintah wilayah Kotif Palu menyelenggarakan fungsi-fungsi yang meliputi bidang-bidang :
1. Pemerintah
2. Pembina kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya perkotaan
3. Pengarahan pembangunan ekonomi, sosial dan fisik perkotaan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tanggal 12 Oktober 1994, Mendagri Yogi S. Memet meresmikannya Kotamadya Palu dan melantik Rully Lamadjido, SH sebagai walikotanya. Kota Palu terletak memanjang dari timur ke barat disebelah utara garis katulistiwa dalam koordinat 0,35 – 1,20 LU dan 120 – 122,90 BT. Luas wilayahnya 395,06 km2 dan terletak di Teluk Palu dengan dikelilingi pegnungan. Kota Palu terletak pada ketinggian 0 – 2500 m dari permukaan laut dengan keadaan topografis datar hingga pegunungan. Sedangkan dataran rendah umumnya tersebut disekitar pantai.

Berikut batas-batas wilayah Kota Palu adalah :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Tawaeli dan Kecamatan Banawa
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Marawola dan Kabupaten Sigi
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Banawa dan Kecamatan Marawola
- Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Tawaeli dan Kabupaten Parimo

Dengan pembagian wilayah menjadi empat, yaitu :
1. Kecamatan Palu Barat mencakup 15 Kelurahan
• Duyu
• Ujuna
• Nunu
• Boyaoge
• Balaroa
• Donggala Kodi
• Kamonji
• Baru
• Lere
• Kabonena
• Tipo
• Buluri
• Silae
• Watusampu
• Siranindi

2. Kecamatan Palu Selatan mencakup 12 Kelurahan
• Tatura
• Birobuli
• Petobo
• Kawatuna
• Tanamodindi
• Lolu Utara
• Tawanjuka
• Palupi
• Pengawu
• Lolu Selatan
• Sambale Juraga
• Tamalanja



3. Kecamatan Palu Timur mencakup 8 Kelurahan
• Lasoani
• Poboya
• Talise
• Besusu Barat
• Tondo
• Besusu Tengah
• Besusu Timur
• Layana Indah

4. Kecamatan Palu Utara mencakup 8 Kelurahan
• Mamboro
• Taipa
• Kayumalue Ngapa
• Kayumalue Pajeko
• Panau
• Lambara
• Baiya
• Pantoloan

Baca Selanjutnya »»»»

Sejarah Kendari | Sulawesi Tenggara

KendariSejarah Kendari | Sulawesi Tenggara ~ Terbentuknya Kota Kendari diawali dengan terbukanya Teluk Kendari menjadi pelabuhan bagi para pedagang, khususnya pedagang Bajo dan Bugis yang datang berdagang sekaligus bermukim di sekitar Teluk Kendari. Fenomena ini juga didukung oleh kondisi sosial politik dan keamanan di daerah asal kedua suku bangsa tersebut di kerajaan Luwu dan Kerajaan Bone.S

Pada awal abad ke-19 sampai dengan kunjungan Vosmaer (seorang Belanda) pada tahun 1831, kendari merupakan tempat penimbunan barang (pelabuhan transito). Kegiatan perdagangan kebanyakan dilakukan oleh orang Bajo dan Bugis yang menampung hasil bumi dari pedalaman dan dari sekitar Teluk Tolo (Sulawesi Tengah). Barang-barang tersebut selanjutnya dikirim ke Makassar atau ke kawasan Barat Nusantara sampai ke Singapura.

Berita tertulis pertama Kota Kendari diperoleh dari tulisan Vosmaer (1839) yang mengunjungi Teluk Kendari untuk pertama kalinya pada tanggal 9 Mei 1831 dan membuat peta Teluk Kendari. Sejak itu Teluk Kendari dikenal dengan nama Vosmaer’s Baai (Teluk Vosmaer). Vosmaer kemudian mendirikan Lodge (Loji=kantor dagang) di sisi utara Teluk Kendari. Pada tahun 1832 Vosmaer mendirikan rumah untuk Raja Laiwoi bernama Tebau, yang sebelumnya bermukim di Lepo-lepo.

Mengacu pada informasi tersebut, maka Kota Kendari telah ada pada awal abad ke-19, dan secara resmi menjadi ibu kota Kerajaan Laiwoi pada tahun 1832, ditandai dengan pindahnya istana Kerajaan Laiwoi di sekitar Teluk Kendari; dengan demikian, Kota Kendari sebagai ibu kota sudah berusia sekitar 176 tahun, dan jauh sebelum itu telah ada perkembangan sejarah masyarakat di wilayah Kota Kendari sekarang ini.

Kota kendari dalam berbagai dimensi dapat dikatakan sudah cukup tua. Hal didasarkan pada beberapa sumber baik secara lisan maupun dokumentasi. Jika Kota Kendari dilihat dari fungsinya, maka dapat disebut sebagai kota dagang, kota pelabuhan, dan kota pusat kerajaan. Kota Kendari sebagai kota dagang merupakan fungsi yang tertua baik sumber lisan dari pelayar Bugis dan Bajo maupun dalam Lontara’ Bajo, dan sumber penulis Belanda (Vosmaer,1839) dan penulis Inggris (Heeren, 1972) menyatakan bahwa para pelayar Bugis dan Bajo telah melakukan aktivitas perdagangan di Teluk Kendari pada akhir abad ke-18 ditunjukkan adanya pemukiman kedua etnis tersebut disekitar Teluk Kendari pada awal abad ke-19. Sebagai fungsi kota pelabuhan dapat dikatakan pada awal abad ke-19, menyusul fungsi Kota Kendari sebagai kota pusat Kerajaan Laiwoi pada tahun 1832 ketika dibangunnya istana raja di sekitar Teluk Kendari.

Pada waktu Mokole Konawe Lakidende wafat maka Tebau Sapati RanomeEto sudah mengaggap diri sebagai kerajaan sendiri lepas dari kerajaan konawe, dan sejak itu pula Tebau Sapati RanameEto mengadakan hubungan dengan pihak belanda yang kemudian pada waktu belanda datang di wilayah RanomeEto diadakanlah perjanjian dengan Belanda di tahun 1858 yang ditanda tangani oleh ”Lamanggu raja Laiwoi” dan di pihak belanda ditandatangani oleh A.A. Devries atas nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dan di tahun 1906 pelabuhan Kendari yang dulunya dikenal dengan nama ”Kampung Bajo” dibuka untuk kapal-kapal Belanda. Dengan demikian mengalirlah pedagang-pedagang Tiong Hoa datang ke Kendari. Perhubungan jalan mulai dibangun sampai kepedalaman. Raja diberi gelar Raja Van Laiwoi dan rakyat mulai di resetle membuat perkampungan dipinggir jalan raya. Kendari berangsur-angsur dibangun jadi kota dan tempat-tempat kedudukan district Hoofd.

Kota Kendari dimasa Pemerintahan kolonial Belanda merupakan ibukota kewedanaan dan ibukota onder Afdeling Laiwoi yang luas wilayahnya pada masa itu kurang lebih 31,420 km2. Sejalan dengan dinamika perkembangan sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan laut antar pulau, maka kendari terus tumbuh menjadi ibukota Kabupaten dan masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara.

Dengan keluarnya Undang-undang nomor 13 tahun 1964 terbentuklah Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kendari ditetapkan sebagai ibukota Provinsi yang terdiri dari 2 (dua) wilayah Kecamatan yakni Kecamatan Kendari dan Kecamatan Mandonga dengan luas wilayah 76,760 km2.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 1978 Kota Kendari ditetapkan menjadi Kota Administratif yang meliputi 3 (tiga) wilayah Kecamatan dengan luas wilayah 187,990 km2 yang meliputi Kecamatan Kendari, Kecamatan Mandonga dan Kecamatan Poasia.

Selama terbentuknya Kota Kendari, berturut-turut menjadi Walikota sebagai berikut :

1 H. MANSYUR PAMADENG ( Tahun 1978 - 1979)
2 Drs. H.M. ANTERO HAMRA ( Tahun 1980 - 1985)
3 Drs. H. ANAS BUNGGASI ( Tahun 1985 – 1988)
4 H. ADY MANILEP - Pelaksana Tugas (Tahun 1988 – 1991)
5 Drs. A. KAHARUDDIN - Pelaksana Tugas ( Tahun 1991 – 1992)
6 Drs. USMAN SABARA - Pelaksana Tugas (Tahun 1993 – 1995)
7 Drs. H. LM. SALIHIN SABORA (Tahun 1993 – 1995)
8 Kol. (Inf) A. RASYID HAMZAH - Pelaksana Tugas (Tahun 1995)

Melalui perjuangan panjang dan tekad warga kota untuk merubah status kota administratif menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II sebagai daerah otonom, maka dengan keluarnya undang-undang No. 6 tahun 1995 tanggal 3 Agustus 1995 Kota Administratif Kendari ditetapkan menjadi Kotamadya Dati II Kendari yang diresmikan oleh Bapak Mentri Dalam Negeri pada tanggal 27 September 1995 dan tanggal ini pula ditetapkan sebagai hari lahirnya Kotamadya Dati II Kendari.

Dengan terbentuknya Kotamadya Daerah Tingkat II Kendari, maka sebagai Walikotamadya KDH Tk.II Kendari, berturut-turut :

1. Drs. LASJKAR KOEDOES (20 September 1995 - 27 September 1996)
2. Drs. H. MASYHUR MASIE ABUNAWAS (27 September 1996 - tahun 2001)
3. Drs. H. A. KAHARUDDIN, Pj Walikota Kendari (Tahun 2002)
4. Drs. H. MASYHUR MASIE ABUNAWAS, M.Si, (2002 – 2007)
5. Ir. H. ASRUN, M. Eng. Sc. ( 2007-2012)

Sejak, Kota Kendari mulai dikenal sejak itu pula dimulai pembangunan secara bertahap sesuai dengan kondisi waktu itu hal ini tentunya tidak luput dari perkembangan penduduk dan dinamika pembangunan yang dibuktikan dengan adanya pemekaran wilayah mulai dari luas 31,420 Km2 sampai luas 295,89 Km2.

Secara Administratif Kota Kendari berbatasan dengan:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Soropia dan Kecamatan Sampara
- Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Moramo
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sampara, Kecamatan Ranomeeto dan Kecamatan Konda.

Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, Maka istilah Dati II dan Kotamadya berubah menjadi Kabupaten/Kota.

Kota Kendari hingga saat ini telah mempunyai 10 (sepuluh) Wilayah Kecamatan dan 64 Kelurahan, Jumlah penduduk Kota Kendari Tahun 2006 berjumlah kurang lebih 244.586 jiwa terdiri 119.529 jiwa laki-laki dan 125.057 jiwa perempuan dengan tingkat pertumbuhan Ekonomi tahun 2006 mencapai 7,64%. Kota Kendari didiami oleh 4 kelompok suku besar yaitu Tolaki, Muna, Buton, Bugis-Makassar, namun yang unik bahwa semua etnis yang ada diwilayah Indonesia dapat dijumpai di Kota Kendari.

Heterogenitas masyarakat yang sangat membanggakan adalah masyarakatnya selalu ingin hidup berdampingan dengan damai menjaga persatuan dan kesatuan, sehingga stabilitas daerah tetap terjaga dengan baik; hal ini merupakan modal dasar untuk melakukan pembangunan demi kemajuan dan perkembangan kota dimasa sekarang dan yang akan datang.

Untuk mengantisipasi kemajuan perkembangan pembangunan, Pemerintah Kota bersama masyarakat membangun Visi Kota Kendari kedepan yaitu: ”MEWUJUDKAN KOTA KENDARI TAHUN 2020 SEBAGAI KOTA DALAM TAMAN YANG BERTAKWA, MAJU, DEMOKRATIS, MANDIRI DAN SEJAHTERA”.

”KOTA YANG MAJU”, artinya Kota ini harus dapat berkembang sejajar dengan kota-kota lain dalam konteks paradigma yang berlaku, kondisi sosial, ekonomi dan budayanya yang maju, tetapi lingkungan fisik juga terpelihara dengan baik,

”DEMOKRATIS” berarti kota yang dapat menerima perbedaan, mengembangkan keterbukaan, mendorong partisipasi masyarakat serta memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk megembangkan potensi dirinya, serta pemerintahan yang dapat mengakomodir segala permasalahan dan persoalan yang ada dalam wilayahnya.

”MANDIRI” berarti kota ini tidak berdiri sendiri dan kerjasama atau kemitraan baik interen maupun eksteren. Diantara komponen warga kota dapat mengembangkan kemitraan, begitu juga kemitraan dengan kota-kota lain.

”SEJAHTERA”, bahwa kota ini harus dapat memberikan kesejahteraan bagi warganya baik secara lahir maupun batin. Untuk mendukung visi kota, maka visi yang akan diemban adalah ”(1) misi lingkungan (2) misi sosial kemasyrakatan (3) misi pelayanan (4) misi perekonomian (5) misi profesionalisme aparat dan (6) misi kepemerintahan yang baik (Good Governance)”.

Kemudian misi tersebut diimplementasikan kedalam 3 (tiga) strategi pendekatan yang meliputi;
1. Peningkatan kualitas SDM, yang meliputi aspek head, heart, dan hand.
2. Catur Bina, yang meliputi bina spiritual, bina sosial ekonomi, bina fisik/lingkungan, dan bina kamtibmas.
3. Peningkatan Daya Saing Kota, meliputi aspek ethics and law enforcement, employment, environment, equity and engegement.

Baca Selanjutnya »»»»

Sejarah Nama Kota Makasar

MakasarSejarah Nama Kota Makasar ~ Kota Makassar pada 2007 ini konon sudah berusia 400 tahun. Untuk menelusuri kembali sejarah kota berjuluk “Kota Daeng” dan “Kota Angingmammiri” itu, Pemerintah Kota Makassar pada Sabtu, 30 Juni 2007 yang lalu, di Hotel Sahid Makassar, mengadakan Seminar Nasional 400 Tahun Makassar.”

Seminar dengan tema ”Menemukenali dan Merangkai Sejarah dan Budaya Makassar” itu menghadirkan 400 tokoh dan menampilkan beberapa pembicara.

Makassar adalah nama tempat bandar niaga kerajaan kembar Gowa dan Tallo. Kerajaan kembar itulah yang kemudian menyandang nama Kerajaan Makassar.
Nama Makassar sudah disebut dalam naskah kuno Jawa, Negara Kertagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca, pada 1364. Naskah itu juga menyebut nama Luwu, Bantaeng, dan Selayar.

”Nama tempat yang yang disebut Makassar (dalam naskah itu, red) belum dapat diidentifikasi hingga sekarang,” kata sejarawan dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Edward L Poelinggomang.

Dalam tradisi pelaut dan pedagang yang berniaga ke Maluku, kawasan yang pulau-pulaunya berada di utara Pulau Sumbawa disebut dengan nama Makassar.
Tradisi penyebutan pulau-pulau tersebut dari para pelaut dan pedagang, kemudian diserap oleh pelaut dan pedagang Portugis setelah merebut dan menduduki Malaka.
Dalam catatan Tome Pores, diungkapkan bahwa pedagang-pedagang Melayu menginformasikan adanya jalur paling singkat dalam pelayaran ke Maluku, yaitu melalui Makassar (Cortesao, 1944).

Informasi itu mendorong pelaut dan pedagang Portugis menelusuri jalur pelayaran tersebut, sehingga dalam peta pelayaran pengembara Portugis, Pulau Kalimantan diberi nama ”Pulau Makassar yang Besar” (Gramdos ilha de Macazar), sedangkan Pulau Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya disebut ”Pulau-pulau Makassar (Ilhas dos Macazar).

Selain itu, kota-kota pelabuhan yang berada di pesisir barat Sulawesi yang menjadi tempat singgah dalam pelayaran ke Maluku, juga diberikan predikat Makassar, antara lain Siang Makassar, Bacukiki Makassar, Suppa Makassar, Sidenreng Makassar, Napo Makassar, dan Tallo Makassar.

Edward L Poelinggoman mengatakan, bandar niaga Makassar terbentuk dari dua bandar niaga dari kerajaan kembar Gowa-Tallo, yaitu bandar Tallo dari Kerajaan Tallo yang terletak di pesisir muara Sungai Bira (Sungai Tallo), serta bandar Sombaopu dari Kerajaan Gowa yang terletak di pesisir muara sungai Jeneberang.

Dua kerajaan tetangga itu kemudian berhasil membentuk persekutuan pada 1528, setelah melalui pemufakatan penyelesaian konflik (perang). Kesepakatan itu berpengaruh bagi rakyatnya dan semua yang mengenal dua kerajaan kembar itu, sehingga muncul ungkapan ”satu rakyat, dua raja” (se’reji ata narua karaeng).
Persekutuan yang dibangun itu bersifat menyatukan dua kerajaan dalam kehidupan kenegaraan, tetapi tetap mengakui kedudukan kekuasaan masing-masing sebagai kerajaan.

Kerajaan Gowa ditempatkan sebagai pemegang kendali kekuasaan kerajaan kembar itu (sombaya), sedangkan Raja Tallo sebagai pejabat mangkubumi (tuma’bicara butta).
Membangun Tembok dan Benteng Pertahanan Perang yang berakhir dengan pembentukan persekutuan kerajaan kembar Gowa-Tallo, berbasis pada keinginan Kerajaan Gowa untuk mengubah orientasi kehidupan kerajaannya dari agraria ke dunia maritim pada periode pemerintahan Raja Gowa IX, Tumapa’risi’ Kallonna Daeng Matanre Karaeng Manguntungi (1510-1546).

Kebijakan itu dilaksanakan mengingat semakin banyak arus migran pedagang Melayu ke kawasan ini setelah Malaka diduduki oleh Portugis pada 1511.
”Setelah melakukan persekutuan dua kerajaan itu, yang secara kesejarahan diperintah oleh raja dari keturunan yang sama, Kerajaan Kembar itu melaksanakan perluasan kekuasaan dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan pesisir dan memaksa mereka untuk melakukan perdagangan dengan bandar niaga Tallo dan Sombaopu,” tutur sejarawan dari Unhas, Edward L Poelinggomang.

Raja Gowa ke-10, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565), yang menjadi pelanjut Raja Gowa ke-9, memandang kebijakan itu kurang memberikan peluang bagi kemajuan bandar niaga kerajaan kembar Gowa-Tallo.

Ia kemudian merancang penaklukan kerajaan-kerajaan pesisir dan kerajaan-kerajaan yang memiliki potensi ekonomi dengan kebijakan baru, yaitu memaksa kerajaan-kerajaan taklukan untuk tunduk dan patuh kepada Raja Gowa X, serta mengangkut orang dan barang dari negeri taklukan, khususnya yang bergiat dalam dunia perdagangan maritim ke bandar Kerajaan Gowa-Tallo.

Akibat kebijakan itu, bandar-bandar niaga yang berada di pesisir jazirah selatan menjadi sirna, dan hanya ada dua bandar niaga, yakni bandar niaga Tallo dan bandar niaga Sombaopu.

Kedua bandar niaga itu secara fisik seolah-olah sudah menyatu dan membentang dari muara Sungai Bira (Sungai Tallo) hingga muara Sungai Jeneberang yang dipenuhi oleh para pedagang dari berbagai bandar niaga yang sebelumnya disebut Makassar.
Itulah yang kemudian mendasari para pedagang menyebut bandar niaga Tallo dan Sombaopu dengan sebutan Bandar Makassar, dan tidak menyebut Tallo Makassar atau Sombaopu Makassar.

Kerajaan kembar Gowa-Tallo juga kemudian disebut dengan nama Kerajaan Makassar, di mana Raja Gowa diangkat menjadi Raja, sedangkan Raja Tallo menjadi Mangkubumi atau Kepala Pemerintahan Kerajaan.

Bandar Makassar kemudian berkembang dan menjadi pusat kegiatan bagi para pelaut dan pedagang, termasuk pelaut dan pedagang dari Portugis pada 1532, Belanda (VOC) pada 1603, Inggris pada 1613, Spanyol pada 1615, Denmark pada 1618, dan China pada 1618.
”Berkumpulnya para pedagang di bandar Makassar, berhasil meningkatkan kegiatan perdagangan di kota pelabuhan itu,” urai Edward.

Untuk melindungi kegiatan perdagangan di kota pelabuhan itu, pemerintah Kerajaan Makassar membangun sejumlah benteng pertahanan sepanjang pesisir dari yang paling utara Benteng Tallo hingga yang paling selatan Benteng Barombong.

Selain benteng, sepanjang wilayah pesisir kota juga dibangun tembok yang di depannya berjejer perahu dan kapal dagang dari berbagai kerajaan di Asia Tenggara, China, dan dari Eropa, sedangkan di balik tembok juga berlangsung kegiatan perdagangan, baik di pasar tradisional, maupun di rumah-rumah dagang.
sumber :
http://makassarkota.go.id


Baca Selanjutnya »»»»

Sejarah Kota Ambon

AmbonSejarah Kota Ambon ~ Berdasarkan fakta sejarah dan hasil kajian yang dilakukan para ahli dan Universitas Pattimura, cikal bakal lahirnya Kota Ambon dimulai dari Benteng Nieuw Victoria, yang terletak di depan Lapangan Merdeka, bekas Markas Yonif Linud 733/Masariku kini markas Detasemen Kavaleri.

Hal itu, ditandai dengan dibangunnya Benteng Portugis di Pantai Honipopu (sekarang kawasan Belakang Kota) pada tahun 1775, yang kemudian disebut Benteng Kota Laha atau Ferangi, yang diikuti kehadiran kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami sekitar benteng lantaran dijadikan sebagai pekerja benterng tersebut.

Selanjutnya, setelah Belanda berhasil menguasai Kepulauan Maluku dan Ambon khususnya dari kekuasaan Portugis, benteng tersebut lantas menjadi pusat pemerintahan beberapa Gubernur Jenderal Belanda sekaligus mengontrol jalur perdagangan melalui badan perdagangannya VOC, dan benteng itu diubah namanya menjadi Nieuw Victoria yang dikenal sampai saat ini.

Kelompok-kelompok masyarakat ini kemudian dikenal dengan nama Soa Ema, Soa Kilang, Soa Silale, Hative, Urimessing dan Mardika disusul Kampung Cina (kawasan A.Y. Patty) dan lain-lain, di mana kelompok masyarakat inilah yang menjadi cikal bakal pembentukan Kota Ambon tahun 1775.

Tanggal 7 September 1921 masyarakat Kota Ambon diberi hak yang sama dengan pemerintah kolonial sebagai manifestasi hasil perjuangan rakyat Indonesia asal Maluku dibawah pimpinan Alexander Yacob Patty, untuk menentukan jalannya pemerintahan kota melalui wakil-wakil dalam Gemeenstraad (dewan kota) berdasarkan keputusan Gubernur General No.7 (Staadblad 1921 nomor.524) tertanggal 7 September 1921. Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan sebagai tanggal kelahiran Kota Ambon. (dari berbagai sumber)

Baca Selanjutnya »»»»

Sejarah dan budaya di Kedaton Ternate

ternateSejarah dan budaya di Kedaton Ternate ~ Dengan berbekal semangat, beberapa anak muda mulai melangkah mantap ke arah utara Kota Ternate. Di pusat Kota Ternate sebelah utara menghadap Pulau “Panjang” Halmahera berdiri kokoh bangunan bersejarah Kedaton Ternate berlatar Gunung Gamalama; sebuah situs sejarah yang telah menjadi saksi atas banyaknya peristiwa penting yang terjadi di sebuah pulau paling diminati dunia sejak permulaan abad ke-15.

Berangkat dari keprihatinan akan banyaknya situs bersejarah di Kota Ternate yang tidak mendapat perhatian cukup dari berbagai kalangan utamanya generasi muda, semangat ingin menjejaki sejarah dan budaya dengan melihat lebih dalam ke kedaton mulai dilakukan. Diawali dengan workshop kecil-kecilan di penghujung Oktober, komunitas Greenmap Ternate akhirnya terbentuk. Kawasan kedaton adalah pilihan lokasi pemetaan pertama, tempatan yang memiliki sejarah mengglobal di masa lalu. Kawasan ini tidak hanya memuat bangunan kedaton, tapi termasuk di dalamnya pula terdapat beberapa situs penting, antara lain masjid kesultanan, Ngara Lamo (tempat pertemuan dewan adat), Benteng Naka, Sunyie Lamo (alun-alun), Air Sentosa (air keramat). Tidak hanya yang tangible (teraga); nilai-nilai yang dianut, ritual-ritual penting, serta hukum-hukum adat juga menjadi target pemetaan.

Dalam wawasan masyarakat Maluku Utara, Kedaton Ternate merupakan ekspresi dari kekayaan alam dan budaya Maluku Kie Raha berupa kearifan lokal, tradisi, pola hidup, dan adat istiadat. Keragaman, keunikan, dan keindahan itu tidak saja menjadi aset budaya masyarakat Maluku Utara namun juga masyarakat Indonesia yang sudah seharusnya dilestarikan untuk kemudian menciptakan pusaka masa depan.

Upaya pengenalan kembali kawasan Kedaton Ternate dengan pendekatan participatory mapping (pemetaan partisipatoris) dapat diangap sebagai wujud kepedulian atas penurunan minat generasi muda dalam mempelajari sejarah Maluku Kie Raha. Menjejaki sejarah dan budaya Ternate melalui peta hijau tidak ditujukan untuk sekedar mengenali nama benda atau bangunan, tapi juga untuk menyadarkan bahwa di sekitar kita banyak bertaburan norma dan ajaran yang bernilai tinggi dan positif. Itulah kearifan yang masih bisa digunakan dalam menjalani kehidupan di masa mendatang; norma, ajaran, dan kearifan yang telah membentuk identitas masyarakat Maluku Utara. “Kesadaran sejarah”… mungkin itu yang kita perlukan saat ini. (gm_Ternate/08)

Baca Selanjutnya »»»»

Sejarah Sorong

SorongSejarah Sorong ~ Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Berdirinya Provinsi Papua Barat juga mendapat dukungan dari Surat Keputusan DPRD Provinsi Papua Nomor 10 Tahun 1999 tentang pemekaran Provinsi Papua menjadi tiga provinsi.

Setelah dipromulgasikan pada tanggal 1 Oktober 1999 oleh Presiden B.J. Habibie, rencana pemekaran Provinsi Papua menjadi tiga provinsi ditolak warga Papua di Jayapura dengan mengadakan demonstrasi akbar pada tanggal 14 Oktober 1999. Sejak saat itu pemekaran provinsi ditangguhkan, sementara pemekaran kabupaten tetap dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999.

Pada tahun 2002, atas permintaan masyarakat Irian Jaya Barat yang diwakili Tim 315, pemekaran Irian Jaya Barat kembali diaktifkan berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 27 Januari 2003. Sejak saat itu, Provinsi Irian Jaya Barat perlahan membentuk dirinya menjadi sebuah provinsi yang definitif.

Dalam perjalanannya, Provinsi Irian Jaya Barat mendapat tekanan keras dari induknya Provinsi Papua hingga ke Mahkamah Konstitusi melalui uji materiil. Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 yang menjadi payung hukum Provinsi Irian Jaya Barat. Namun Provinsi Irian Jaya Barat tetap diakui keberadaannya.

Provinsi Irian Jaya Barat terus membenahi diri dengan terus melengkapi sistem pemerintahannya, walaupun di sisi lain dasar hukum pembentukan provinsi ini telah dibatalkan. Setelah memiliki wilayah yang jelas, penduduk, aparatur pemerintahan, anggaran, anggota DPRD, akhirnya Provinsi Irian Jaya Barat menjadi penuh ketika memiliki gubernur dan wakil gurbernur definitif Abraham Octavianus Atururi (Brigjen Marinir Purn.) dan Drs. Rahimin Katjong, M.Ed yang dilantik pada tanggal 26 Juli 2006. Sejak saat itu, pertentangan selama lebih dari 6 tahun sejak Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 dikumandangkan dan pertentangan sengit selama 3 tahun sejak Inpres Nomor 1 Tahun 2003 dikeluarkan berakhir dan Provinsi Irian Jaya Barat mulai membangun dirinya secara sah. Dan sejak tanggal 6 Februari 2007 Provinsi Irian Jaya Barat berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat.

Pada awal terbentuk, Provinsi Papua Barat terdiri dari tiga kabupaten induk, lima kabupaten pemekaran dan satu kotamadya, yakni :

1. Kabupaten Fakfak dengan luas 14.320 Km2.
2. Kabupaten Kaimana dengan luas 18.500 Km2.
3. Kabupaten Teluk Wondama dengan luas 4.996 Km2.
4. Kabupaten Teluk Bintuni dengan luas 18.658 Km2.
5. Kabupaten Manokwari dengan luas 14.448,5 Km2.
6. Kabupaten Sorong Selatan dengan luas 29.811 Km2.
7. Kabupaten Sorong dengan luas 18.170 Km2.
8. Kabupaten Raja Ampat dengan luas 6.084,5 Km2.
9. Kotamadya Sorong dengan luas 1.105 Km2

Baca Selanjutnya »»»»

Sejarah Timika

TimikaSejarah Timika ~ nah Kali ini kita bahas sedikit tentang prvinsi Papua Tengah, Mimika merupakan sebuah kecamatan dari wilayah administrasi Kabupaten Fakfak, berdasarkan peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 1996, Kecamatan Mimika ditetapkan sebagai Kabupaten Administratif, kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999, Mimika menjadi Kabupaten Otonom.

Kabupaten Mimika memiliki luas sekitar 20.039 km² atau 4,75% dari luas wilayah Provinsi Papua dengan topografi dataran tinggi dan rendah.
Kabupaten Mimika sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Paniani dan Puncak Jaya, sebelah Selatan Laut Arafuru, sebelah Timur Kabupaten Merauke dan sebelah Barat Kabupaten Fakfak.

Mimika didiami oleh 7 suku asli, dua suku besar yaitu Amungme yang mendiami wilayah pegunungan dan Kamoro di wilayah pantai. Selain kedua suku tersebut masih ada lima suku kekerabatan yaitu, Dani/Lani, Damal, Mee, Nduga dan Moni.
Kabupaten Mimika saat ini memiliki 12 Kecamatan yaitu Kecamatan Mimika Timur, Mimika Timur Tengah, Mimika Timur Jauh, Mimika Barat, Mimika Barat Tengah, Mimika Barat Jauh, Mimika Baru, Kuala Kencana, Tembagapura, Agimuga, Jila dan Jita

Baca Selanjutnya »»»»

Sejarah Papua

PapuaSejarah Papua ~ Nama PAPUA berasal dari pelaut Portugis ketika pertama kali mereka melihat pulau ini pada tahun 1511 yang kemudian mereka menamakan Ilhas dos Papuas yang berarti kurang lebih 'pulau dihuni orang berambut halus'. Para pelaut Belanda kemudian menyebut Papua dengan New Guinea karena kulit orang Papua mengingatkan mereka dengan orang Guinea di Afrika. Nama Irian sendiri berasal dari bahasa Biak (salah satu pulau di utara Papua) yang berarti 'daratan panas yang muncul dari laut'. Di bawah pemerintahan Belanda, Papua dikenal dengan sebutan Dutch New Guinea dan ketika wilayah ini beralih ke Indonesia namanya diubah menjadi Irian Barat, kemudian Irian Jaya, dan sekarang Papua.

Kekuasaan Belanda atas Papua (New Guinea) diperoleh melalui Kesultanan Tidore yang ketika itu berada di bawah kontrol Belanda. Belanda memberikan kewenangan kepada Tidore pada tahun 1660 atas wilayah New Guinea. Dengan demikian New Guinea secara tidak langsung juga berada di bawah kontrol Belanda. Walaupun berada d bawah kekuasaan Belanda namun New Guinea secara ekonomi tidak terlalu menarik perhatian Belanda kecuali perusahaan Amerika dan Jepang yang tertarik untuk mulai melaukan eksplorasi mencari cadangan minyak di daerah ini.

Pada perang dunia II, New Guinea diduduki tentara Jepang namun seiring dengan kekalahan Jepang dan perakhirnya perang dunia, Belanda kembali masuk ke wilayah ini. Belanda mulai menarik diri dari Indonesia karena berbagai tekanan internasional menyusul penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia. Namun Belanda masih tetap mempertahankan Papua. Indonesia menuntuk Belanda untuk mengembalikan Papua kepada Indonesia sesuai dengan perjanjian bahwa seluruh bekas wilayah kekuasaan Belanda (Dutch East Indie) dikembalikan kepada Republik Indonesia. Pada tahun 1962 Indonesia mengirimkan pasukan militer ke Papua namun kurang berhasil.

Belanda mengusulkan agar dilakukan referendum bagi masyarakat Papua namun Indonesia manawarkan musyarawah diantara tokoh masyarakat Papua. Pada tahun 1969 pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa musyawarah yang dilakukan di tiga tempat yaitu Merauke, Jayawijaya, dan Paniai menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan Papua bergabung dengan negara Kesatuan Republik Indonesia. Papua kemudian menjadi propinsi ke-26.


Baca Selanjutnya »»»»